Militer Indonesia menggunakan "2 jari" untuk melakukan tes keperawanan kepada setiap calon prajurit wanitanya, Hasil reportase LSM Human Right Watch. Memang terdengar janggal, namun sejarah seputar tes keperawanan ternyata sudah berlangsung lama dan memiliki sejarah tersendiri.
DI Yunani kuno, keperawanan ditandai dengan vagina mungil berwarna pink dan payudara kencang berdiameter sedang, menurut sejarahwan Hanne Blank dalam bukunya, "Virgin: The Untouched History". Sedangkan wanita yang sudah pernah melakukan hubungan intim, ditandai dengan vagina berwarna gelap, berdiameter lebar, dan payudara yang sudah turun.
Salah satu teks di abad pertengahan berjudul De secretis mulierum atau bermakna Rahasia Wanita, digambarkan bahwa keperawanan terwakili dari setiap perilakunya:
"Tanda-tanda keperawanan dapat dilihat dari adanya rasa malu, sikap sederhana, rasa takut, gaya berjalan yang anggun, tutur kata yang sopan, tatapan mata yang teduh dan perilaku yang beradab di depan lawan jenis. Beberapa wanita yang pintar memang mampu meniru semua perilaku tersebut, namun mereka tak bisa lolos tes keperawanan, lewat urine. Urine seorang perawan umumnya jernih bahkan kadang berkilau. Tapi urine wanita yang sudah tidak perawan biasanya berwarna keruh.”
Dokter di abad pertengahan bahkan terkadang mendefinisikan keperawanan lewat perbandingan jidat dan lingkar leher.
Berikut adalah fakta tes keperawanan lain yang masih dikutip dari buku "Virgin: The Untouched History":
"Komunitas kulit hitam di Amerika Selatan, memiliki tradisi unik seputar cara tes keperawanan. Seorang pria dapat mengetes keperawanan seorang wanita lewat kotoran telinga yang didapat lewat jarinya. Kemudian jari tersebut dimasukkan ke dalam vagina wanita yang ingin dites. Jika selipan jari tersebut menyakitkan wanita, bahkan membuatnya menangis, berarti sang wanita terbukti perawan.“
Dan yang selalu menjadi tolak ukur hingga kini adalah, keperawanan ditandai dengan adanya darah saat sepasang pengantin baru melakukan hubungan intim di malam pertama. Padahal tak semua wanita mengalami hal tersebut. Karena beragam aktivitas bisa saja merubah kondisi vagina terutama selaput dara secara alami.
Baca juga: Mitos Selaput Dara dan Tes Keperawanan
Sejarah mengapa tes keperawanan harus dilakukan
Apa yang diinginkan banyak orang dengan keperawanan? Kadang berhubungan dengan pernikahan, namun terkadang cakupannya kian meluas, bahkan dijadikan sebagai salah satu syarat untuk memasuki pemerintahan seperti yang dilakukan di Indonesia.
Untuk keamanan nasional: Di tahun 1979, Airport Heathrow, London secara resmi mengadakan tes keperawanan pada seorang wanita keturunan India berusia 35 tahun. Wanita tersebut datang ke Inggris untuk menikah dengan calonnya yang juga keturunan India, berkebangsaan Inggris. Karena sang wanita dicurigai berbohong, maka dilakukanlah tes keperawanan kepadanya di Kantor Kementerian Luar Negeri Inggris. Hal ini sempat menjadi berita yang cukup hangat di era 70an, ketika Guardian berhasil mempublikasikannya.
Untuk mengamankan uang negara: Di tahun 2003, Anggota parlemen Jamaica, Ernie Smith mengajukan tes keperawanan kepada seluruh siswa wanita di Sekolah Jamaica, untuk memerangi kasus hamil di luar nikah. Beragam kritik pun datang saat itu, dan salah satu solusi terbaik, adalah diadakannya seks edukasi untuk anak usia sekolah, dan memperketat keamanan, terutama bagi keselamatan wanita muda dari teror pedofilia. Antropologis Universitas Duke berhasil menuliskannya di Journal of Latin American and Caribbean Anthropology.
Banyak budaya yang sudah mengangkat tema keperawanan wanita dalam tatanannya. Bagaikan titik hitam, keperawanan seolah menjadi suatu hal yang sangat bernilai dari waktu ke waktu. Bahkan sejarahpun banyak mengungkapkan faktanya kepada kita.
Baca juga: Memahami Lebih Dalam Tes Keperawanan "Dua Jari"
Teori yang sangat populer adalah, pria menginginkan anaknya lahir hanya dari wanita yang suci. (Jika perawan, tentu hanya berhubungan dengan satu pasangan saja hingga seterusnya). Selanjutnya, sistem kepala keluarga itu pun terbentuk lewat kontrol pria terhadap perilaku dan pergerakan wanita dan anak-anak.
Human Rights Watch menyimpulkan, tes keperawanan adalah suatu hal yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan harga diri seseorang. Dan di balik itu semua, kekonyolan pun kian meluas dan terpola ke dalam sejarah manusia. Kita harus mampu menghapusnya secara perlahan, sekalipun sulit untuk memulainya.